Langsung ke konten utama

KEMANA SIH PENONTON FILM INDONESIA ???



Kegelisahan saya mungkin juga jadi kegelisahan teman-teman semua, kemana sih penonton film Indonesia? Miris ketika melihat data penonton film Indonesia di website www.filmindonesia.or.id, hanya satu kata untuk menggambarkannya, sepi..... Sekarang ini satu film indonesia sangat sulit untuk mencapai angka 1 juta penonton. Jangankan 1 juta, 100 ribu penonton saja sudah susah untuk dicapai sekarang ini. 
Sepertinya sudah menjadi mimpi yang terlalu tinggi untuk melihat film Indonesia mencapai jumlah penonton sampai angka 4 juta seperti yang didapat film “Laskar Pelangi” maupun “Habibie dan Ainun”. 

Terus apa sih yang penyebabnya? Apa yang membuat penonton film Indonesia makin menurun jumlahnya? Padahal film Indonesia semakin banyak yang berkualitas terbukti dengan banyaknya film-film Indonesia yang mengikuti festival-festival film di luar negeri.

Setidaknya saya punya 3 poin penting di antara sekian banyak faktor yang saya amati menjadi penyebab merosotnya jumlah penonton film Indonesia. Apa saja 3 poin tersebut? Langsung saja ini dia.

1. Kualitas

Setidaknya ada 100-an film Indonesia yang rilis setiap tahunnya, tapi berapa yang berkualitas? sedikit! Kualitas adalah kekuatan utama dari sebuah film. Siapa juga yang mau nonton film berkualitas jelek kan?
Terus apa yang ada di benak kebanyakan orang ketika ditanya soal film Indonesia? "Film Indonesia itu jelek!", "Film Indonesia itu ceritanya itu-itu saja.", "Film horornya banyak mengandalkan paha dan dada pemeran wanitanya." dan masih banyak lagi pandangan negatif masyarakat tentang perfilman Indonesia. Film Indonesia sudah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya sendiri. Ini berbahaya, karena jika ada film Indonesia yang bagus dirilis, masyarakat akan tetap ragu untuk menonton karena paradigma negatif yang sudah berakar tersebut.

Lagipula sekarang ini bisa dikatakan perfilman Indonesia agak "membosankan" karena banyaknya film yang memiliki tema dan ide cerita yang sejenis. Jujur, tahun ini saya baru menonton satu film Indonesia, yaitu "Filosofi Kopi" karena memiliki tema yang berbeda sehingga jadi penyegar di antara film Indonesia yang lain.

Terus bagaimana caranya agar film-film Indonesia mendapatkan lagi kepercayaan rakyatnya sendiri? Mungkin kita bisa berkaca dari industri perfilman Korea.  Pada tahun 1990-an kondisi perfilman Korea sama persis seperti kondisi perfilman di Indonesia, tapi jika ditanya bagaimana kondisi perfilman kedua negara tersebut pada tahun 2015 ini? Korea jauh mengungguli kita dari segala sisi. Lantas apa yang membuat industri perfilman Korea bisa melesat jauh seperti sekarang? Padahal tahun 1990-an kondisi perfilman Korea dan kita persis sama?

Ternyata, pada waktu itu semua stakeholder atau pemegang kepentingan di industri perfilman Korea mulai dari pemerintah, badan perfilmannya, pekerja film, dll duduk satu meja untuk menemukan jalan keluar agar perfilman Korea bisa maju. Dan didapatlah satu ide di antara banyak yang lain, yaitu untuk memajukan perfilman Korea harus dimulai dari kualitas konten film itu sendiri, yang mana kualitas cerita adalah hal yang paling utama. 

Langkah nyata yang diambil, mereka membayar tinggi setiap penulis naskah film agar menghasilkan naskah cerita yang berkualitas baik, dan itu behasil.
Bisa dilihat sampai sekarang, Film-filmnya sangat disukai rakyatnya sendiri bahkan disukai juga oleh negara-negara luar termasuk Indonesia. Tidak hanya film-filmnya, serial dramanya juga sangat terkenal di mana-mana. Inilah yang membuat industri perfilman Korea maju yaitu naskah cerita yang berkualitas. Bayangkan dengan memperbaiki kualitas konten ceritanya, mereka bisa mendapatkan kepercayaan rakyat mereka sendiri, rata-rata jumlah penonton Korea di sana mencapai 15 juta untuk satu film! Berbanding jauh dengan Indonesia yang hanya bisa mencapai 10 juta untuuuuuuk……semua film Indonesia dalam satu tahun!

Indonesia seharusnya bisa mengikuti jejak Korea tersebut. 

Pertama, semua stakeholder perfilman Indonesia harus "benar-benar" duduk satu meja untuk memikirkan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Sering kita lihat bagaimana pekerja dunia perfilman "mengemis" perhatian pemerintah. Yaa begitulah adanya, dukungan pemerintah sangat minim dalam bidang ini. Tidak adanya sinkronisasi antara semua stakeholder membuat macet laju industri perfilman Indonesia.

Yang kedua, hal yang patut dipelajari dari perfilman Korea adalah naskah film yang dibuat selalu dituntut untuk berkualitas. Di era sekarang untuk membuat film yang berkualitas sudah bukan lagi mengandalkan visual efek yang tidak mungkin Indonesia menirunya, karena biaya produksi yang sangat mahal untuk membuat visual efek yang waaaah. Tapi dengan membuat naskah cerita yang bagus sudah sangat cukup menjadi modal untuk membuat film yang berkualitas. Bahkan di industri perfilman Hollywood sekarang, penontonnya lebih fokus ke kualitas ceritanya daripada penggunaan visual efeknya. Bisa dilihat dari film “Transformer” yang sering dicaci oleh para kritikus film karena kualitas naskah ceritanya yang buruk dan hanya mengandalkan ledakan-ledakan dan visual efek.
Indonesia sekarang lagi krisis penulis naskah film yang bagus. Sehingga tidak mengherankan banyak film Indonesia yang diadaptasi dari novel, karena novel sudah memiliki jalinan cerita yang bagus.

Oh ya, di awal tadi saya sempat mengatakan kalau film Indonesia akhir-akhir ini banyak memiliki tema dan ide cerita yang sejenis. Saya akan coba menjelaskan sedikit kenapa film yang dirilis memiliki konsep yang hampir sama tersebut.

Film adalah bisnis. Para produser yang mengeluarkan uangnya untuk membuat film tentunya ingin filmnya sukses dan untung secara finansial. Menurut kalian film apa yang “pasti” akan untung secara finansial? Yap! Film yang disukai oleh kebanyakan penonton Indonesia, atau juga jenis film yang lagi trend belakangan ini. Naaaah…oleh karena itu, jangan heran kalau film-film Indonesia yang beredar di bioskop memiliki tema dan ide cerita yang sejenis. Karena terbukti film-film tersebut bisa menarik perhatiaan penonton Indonesia. Tidak mungkin para produser mengambil resiko untuk membuat film di luar trend tersebut yang kemungkinan tidak menarik penonton Indonesia yang berdampak akan merugi secara finansial.

Apakah ini salah produser film? Tentunya tidak, jika kita berada di posisi mereka pasti kita juga berpikiran seperti itu. Kata seorang produser, untuk membuat film yang bagus minimal membutuhkan dana sekitar 3 M. Jika ingin balik modal saja minimal butuh 300 ribu penonton yang datang untuk menonton film tersebut. Kalau mau untung, tentu harus lebih banyak dari itu. Bayangkan, bagaimana dilemanya produser dalam mengeluarkan uangnya untuk membuat suatu film. Itulah mengapa para stakeholder harus duduk satu meja untuk mencari solusi dari permasalahan ini. Agar para produser juga bisa tenang dalam membuat suatu film yang berkualitas.


Penonton Indonesia Sepi

Oke, itu dari poin pertama. Terus apalagi yang menyebabkan merosotnya penonton film Indonesia akhir-akhir ini? Ini dia poin keduanya.

2. Promosi

Ada yang menarik dari kata-kata Fedi Nuril di acara Ultimate U di Kompas TV, kurang lebih seperti ini,”Waktu itu film saya (Surga Yang Tak Dirindukan) dan Comic 8 sedang bersaing di bioskop Indonesia. Ternyata kami kalah di awal-awal, hingga akhirnya dari rumah produksi kami menggenjot sisi promosinya dan ternyata berhasil hingga menyalip jumlah penonton Comic 8.” Seperti kita ketahui Surga Yang Tak Dirindukan dan Comic 8 adalah dua film Indonesia yang bisa mencapai jumlah penonton sampai 1 juta di tahun ini, dan filmnya Fedi Nuril tersebut unggul di atas Comic 8 secara jumlah penonton. Sangat menyenangkan melihat film Indonesia bersaing seperti ini, Coba sepanjang tahun bisa melihat persaingan seperti ini.

Kembali ke awal topik, begitulah pentingnya promosi dalam suatu film, karena sangat vital dalam menarik penonton untuk datang menonton suatu film. Bahkan di industri perfilman Hollywood, biaya promosi suatu film biasanya lebih besar dari biaya produksi film itu sendiri. Sedangkan di Indonesia sering didapati film tidak memiliki biaya promosi karena dananya sudah habis di bagian produksinya, sehingga sangat disayangkan karena bisa jadi film itu berkualitas tapi banyak orang yang tidak tahu karena tidak dipromosikan secara total.

Coba lihat film “Siti” yang memenangkan Piala Citra sebagai Film Terbaik di FFI 2015 kemarin, saya yakin tidak banyak orang yang tahu film tersebut. "Siti" bisa masuk dalam nominasi FFI saja karena prestasinya yang telah wara-wiri di festival film luar negeri. Dan saya yakin banyak juga film berkualitas dari Indonesia yang wara-wiri di festival luar negeri tapi tidak dikenal dan tidak masuk nominasi di ajang seperti FFI. Sayang kaaaan…. Film bagus, dari Indonesia pula tapi tidak diketahui oleh orang Indonesia itu sendiri.


Promosi Itu Penting!


Nah sekarang masuk ke poin ketiga, yang menurut saya memiliki peran penting yang menyebabkan merosotnya jumlah penonton Indonesia.

3. Harga tiket bioskop yang mahal!

Jika saya dihadapkan antara dua pilihan film, yang satu film Hollywood dan satu lagi film Indonesia yang saya tidak tahu banyak tentangnya, dan harga tiket bioskopnya Rp 40.000, tentunya saya akan pilih yang pasti-pasti saja yaitu film Hollywood. Saya tidak akan berani gambling untuk harga tiket yang tinggi itu. Saya yakin teman-teman semua juga sependapat dengan saya (hehehe).

Inilah realita yang terjadi di Indonesia, harga tiket bioskopnya begitu tinggi. Di Kota saya Pontianak, harga tiket bioskop sangat tinggi yaitu senin-kamis Rp 40.000, Jumat Rp 50.000, dan Sabtu-Minggu Rp 60.000. Tentunya harga tiket bioskop di Indonesia bervariasi, tapi umumnya harga tiket bioskop memang tinggi untuk masyarakat Indonesia. Ini juga lah yang membuat film Indonesia makin kehilangan penontonnya. Harga yang sama antara film luar dan dalam negeri, membuat film Indonesia kalah bersaing. Belum lagi jika yang lagi tayang adalah film-film luar yang sudah terkenal misalnya film superhero marvel, Disney, dan lain-lain, pastinya makin menenggelamkan film Indonesia yang sedang tayang.
Dan juga pihak bioskop selalu memprioritaskan film yang banyak jumlah penontonnya. Tidak peduli itu film Indonesia ataupun film luar, film yang laku akan mendapat jatah waktu tayang yang lebih lama dan mendapat jumlah layar yang lebih banyak. Ini menjadi persoalan karena film luar terutama dari Hollywood selalu memiliki kualitas yang terjaga, sedangkan industri perfilman Indonesia tidak konsisten mengeluarkan film yang berkualitas sepanjang tahun, sehingga membuat film Indonesia selain kalah mendapat tempat di hati penonton juga kalah bersaing mendapat tempat di bioskop.

Lantas pihak bioskop salah? Tentu tidak, kembali ini adalah persoalan bisnis. Pihak bioskop tentunya ingin mendapat keuntungan dari usahanya ini dengan cara menayangkan film yang mendatangkan jumlah penonton yang banyak. Dan hanya karena regulasi yang mengharuskan menayangkan film Indonesia, biasanya film Indonesia yang tidak laku tetap ditayangkan tapi hanya mendapatkan waktu tayang yang sangat sebentar. Saya punya pengalaman ketika ingin menonton suatu film Indonesia yang mendapat review yang bagus dari para kritikus, tapi terlambat karena sudah turun tayang padahal film tersebut belum sampai seminggu tayang di bioskop sini. Ternyata film tersebut tidak laku. Miris juga sih melihatnya, ternyata film yang tidak laku belum tentu film tersebut jelek.


Mahalnya Tiket Bioskop


Well, itulah ketiga poin yang saya amati jadi penyebab menurunnya jumlah penonton film Indonesia belakangan ini. Tentunya masih banyak faktor lain yang menjadi penyebabnya, tapi saya yakin jika ketiga hal tersebut diperbaiki, jumlah penonton Indonesia akan meningkat seiring waktu. Ketiga hal tersebut hanya bisa terselesaikan jika semua pihak dapat duduk bersama untuk menemukan jalan keluar dari polemik ini. Siapa sih yang tidak ingin industri perfilman Indonesia maju kan? :)

Komentar

  1. Hei salam kenal sesama movie blogger ni..

    buat gw sih faktor yg pertama promosi..hihi, kalo soal kualitas sebenarnya banyak meningkat kok (ya emang sih banyak juga yg mediocore, tapi seenggaknya intensitas film2 ala DP, Nayato uda berkurang banget sekarang)

    Tahun lalu, horor pun bagus2 dari Tuyul sampe Badut semua detil diperhatikan bener, cerita juga ga murahan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW - CATCH ME IF YOU CAN (2002)

                                                         "Frank never went to flight school,        Frank never went to medical school,        Frank never went to law school,        ........ Because Frank is still in high school"                                                      Hahaha! kata-kata yang muncul di trailer "Catch Me If You Can" tersebut menunjukkan bagaimana kehebatan Frank Abagnale Jr. dalam melakukan aksi penipuannya. Bayangkan dia bisa jadi pilot, dokter, bahkan pengacara tanpa pernah sekolah di ketiga bidang tersebut, terlebih lagi mengetahui kalau dia masih bocah yang duduk di bangku SMA! Film ini sebenarnya udah lama keluar, tahun 2002. Tapi saya baru menontonnya beberapa waktu yang lalu karena dapat rekomendasi dari teman yang juga pecinta film. Saya langsung tertarik pas liat poster filmnya yang menunjukkan kalau Leonardo DiCaprio dan Tom Hanks yang jadi pemeran di dalamnya. Siapa yang tidak tergiur

REVIEW - IDENTITY (2003)

Sinopsis : Bercerita tentang 10 pengunjung motel dengan latar yang berbeda-beda. Mereka mengunjungi motel tersebut karena akses jalan di kota itu tertutup oleh banjir yang disebabkan hujan deras. Namun, pilihan mereka berbuah petaka, tiba-tiba satu per satu dari mereka mati secara misterius dan meninggalkan nomor dari angka 10, 9, 8, dan seterusnya seperti sebuah hitungan mundur. Apa yang terjadi? Siapakah pembunuhnya? Apakah orang lain atau salah satu di antara mereka? Review : Identity memiliki premis cerita yang sangat menarik. Itulah mengapa saya begitu penasaran dengan film ini. Lalu apakah eksekusinya berhasil? Dan bisa saya katakan, film ini sangat berhasil membuat premis ceritanya menjadi jalinan plot yang begitu menarik. Bagaimana film bergenre thriller psikologi ini begitu rapi dalam penggarapannya, mulai dari pengenalan tokoh-tokohnya yang tidak terlalu lama tapi cukup detail, yang membuat saya mengangguk-anggukan kepala di awal-awal film, sampai ketika sce

REVIEW - TRAIN TO BUSAN (2016)

Sinopsis: Korea dilanda serangan zombie . Ini bermula dari kebocoran sebuah pabrik yang menyebabkan kontaminasi kimiawi terhadap makhluk hidup, baik hewan juga manusia. Di sisi lain, ada sebuah kereta cepat yang menuju Busan. Tapi sayangnya, seorang wanita yang sudah terinfeksi memasuki kereta dan menggigit penumpang lain yang lantas ikut menjadi zombie , sehingga semakin banyak yang terinfeksi ketika kereta sudah berjalan. Terus bagaimana nasib para penumpang yang tidak terinfeksi? Bagaimana cara mereka menyelamatkan diri dari kereta yang sedang berjalan? Review: Ketika menonton salah satu film drama terbaik sepanjang masa "Before Sunrise", saya sangat ingin menyaksikan sebuah film yang dari awal sampai akhir didominasi latar di dalam kereta. Dan itu saya dapatkan di "Train to Busan". Namun ini bukanlah film drama romansa, melainkan sebuah thriller yang sangat memacu adrenalin! Yap! Setting film garapan Sang-ho Yeon ini 80-90 persen berada di dalam k